Sabtu, 22 Januari 2011

Tentang inovasi dan berpikir holistik

Tentang inovasi dan berpikir holistik

Kita mungkin sering bertanya-tanya, kenapa ada bangsa atau ras yang maju dan ada yang ketinggalan jauh. Penduduk asli seperti Aborigin di Australia, misalnya, masih hidup di jaman batu ketika bangsa Eropa memasuki benua tersebut. Sampai saat ini pun, ada sebagian suku-suku di Indonesia yang kehidupannya tidak jauh beranjak dari kebudayaan jaman batu. Melihat perbedaan tersebut, kita sering berkesimpulan bahwa perbedaan tersebut terletak pada perbedaan kecerdasan yang jauh, seolah-olah umat manusia ini terdiri dari spesies berbeda. Yang lebih disayangkan lagi, banyak yang menjadikan itu sebagai alasan untuk merasa rendah diri sebagai anak bangsa yang dianggap masih ‘terbelakang’.
Apakah kesimpulan tersebut benar? Dalam agama, kita sering diajari bahwa setiap manusia itu sama. Gerakan hak asasi juga mengeluarkan pernyataan yang bernada serupa. Tetapi, apakah ada bukti yang bisa diterima nalar bahwa perbedaan tersebut bukan disebabkan oleh kemampuan individu? Jared Diamond mengambil tantangan tersebut dan hasil penelitiannya dituangkan dalam buku Guns, Germs, and Steel yang menerima banyak penghargaan.
Dalam buku tersebut, Diamond menyimpulkan bahwa perbedaan kemajuan budaya tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan kecerdasan. Bahkan dengan nada simpatik, Diamond berargumen bahwa kebudayaan yang dianggap terbelakang sebenarnya memaksa penduduknya untuk lebih kreatif dibanding kebudayaan modern yang dimanja oleh MTV. Apa yang terjadi sebenarnya adalah, kebudayaan yang lebih maju (terutama di Eropa, Afrika Utara, dan Asia - yang disingkat Eurasia) sebenarnya disebabkan karena wilayah tersebut mendukung terbentuknya masyarakat pertanian lebih dahulu. Sementara di bagian lain, karena kondisi geografis, masyarakat pertanian terlambat muncul menggantikan masyarakat pemburu nomaden.
Apa yang istimewa dari masyarakat pertanian ini? Dibanding dengan masyarakat pemburu nomaden, masyarakat pertanian mampu menyimpan surplus produksi mereka. Sebagian dari surplus tersebut bisa dipakai untuk mensubsidi profesi lainnya seperti tukang (yang merupakan cikal bakal kesenian). Masyarakat pertanian yang menetap juga memunculkan kebutuhan akan administrasi dan birokrasi. Karena tidak perlu berpindah-pindah, mereka bisa beranak pinak lebih banyak. Kompleksitas masyarakat semacam itu memaksa munculnya inovasi-inovasi dalam kebudayaan bersangkutan. Menyusul pertanian, peternakan juga muncul. Setelah itu: huruf dan angka. Yang tidak kalah pentingnya, interaksi antara manusia dengan hewan peliharaan mengakibatkan menularnya beberapa penyakit dari hewan ke masyarakat ini. Sepanjang sejarah, proses penularan tersebut memang menimbulkan banyaknya kematian di dalam masyarakat pertanian itu sendiri, namun yang bertahan hidup akhirnya mengembangkan kekebalan tubuh.
Kekebalan terhadap kuman ini lah yang menjadi salah satu alasan superioritas masyarakat pertanian terhadap pemburu ketika kedua kebudayaan tersebut bertemu. Sebagai contoh, ketika bangsa Spanyol berperang melawan bangsa Inca dan Aztec, kado kuman dari kerajaan Spanyol membunuh lebih banyak korban dari pihak lawan dibanding senjata dan mesiu.
Lalu apa yang menyebabkan kontinental Eurasia lebih kondusif untuk masyarakat pertanian? Jawabannya adalah: Geografi. Bila Anda bisa melukiskan peta dunia di kepala Anda, tentunya Anda tahu bahwa benua Eropa dan Asia sebenarnya saling bertautan secara horizontal dari Portugal sampai Jepang. Dengan kata lain, benua ini memanjang secara horizontal. Bandingkan dengan benua Amerika dan Afrika yang memanjang ke bawah (vertikal). Kita mungkin menganggap itu bukanlah hal penting dalam menentukan kemajuan budaya dan masyarakat. Diamond menganggap itu adalah faktor yang paling penting.
Benua yang horizontal (atau menurut istilah Diamond, berporos Timur-Barat) memiliki keunggulan karena daerah-daerah yang terletak bersebelahan secara horizontal kemungkinan besar memiliki iklim yang sama. Selain itu, wilayah-wilayah tersebut memiliki panjang hari yang sama. Iklim dan panjang hari yang sama memungkinkan tanaman yang sukses dikembangkan sebagai bahan pertanian di satu tempat diterima di tempat lain tanpa masalah berarti. Sebagai contoh, gandum dan buah-buahan yang dikembangkan di Mesopotamia dengan cepat menyebar ke Eropa. Sementara untuk benua yang berporos Utara-Selatan, pengembangan di satu wilayah sering mendapat hambatan untuk ditransfer ke tempat lainnya karena adanya perbedaan iklim yang kontras. Varian jagung di Meksiko, misalnya, membutuhkan waktu yang lama untuk tiba di Amerika Serikat.
(Meski Diamond tidak mengambil kepulauan Indonesia sebagai contoh, saya pribadi yakin teori tersebut berlaku juga untuk menjelaskan perbedaan kemajuan di kepulauan Indonesia. Alasan mengapa kebudayaan Jawa lebih maju dibanding kebudayaan dari pulau lain adalah karena alasan geografi. Jawa memiliki poros Timur-Barat dan akses geografis dari ujung timur ke barat hampir tidak menemui hambatan.)
Secara singkat, tidak ada alasan bagi kita untuk memandang rendah bangsa/suku lain yang terbelakang. Dan jelas tidak ada alasan juga bagi kita untuk memandang rendah diri kita sendiri. Perbedaan yang muncul bukan disebabkan oleh superioritas/inferioritas pada tingkatan individu, tetapi karena kondisi geografi yang harus dihadapi para nenek moyang kita. Sedangkan di jaman modern ini, perbedaan yang ada antara negara miskin dan kaya lebih disebabkan oleh sistem dan budaya yang sudah terbentuk. Tentu saja, sebagai manusia yang memiliki akal budi, kita memiliki kemampuan untuk merubah sistem dan budaya yang ada di sekitar kita.
Meski terlalu cepat sehari, ijinkan saya mengucapkan Selamat Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ke-61. Maju terus, bangsa Indonesia!
Bila sampai hari ini Anda belum mendengar istilah ‘the long tail‘, sangat mungkin dalam beberapa waktu ke depan, Anda akan sering mendengarnya. Dan sebelum Anda mendapatkan diri terlibat dalam percakapan mengenai topik ini, ada baiknya Anda mengetahui terlebih dahulu ada apa di balik istilah ‘the long tail‘ sehingga rekan-rekan diskusi Anda bakal terpesona dengan luasnya pengetahuan Anda (atau dalam kasus ini, panjangnya pengetahuan Anda).
Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh seorang jurnalis majalah Wired, Chris Anderson, yang menulis mengenai topik ini di majalah tersebut pada bulan Oktober 2004. Artikel tersebut segera mendapat sambutan luas sehingga Anderson memutuskan menulis sebuah buku dari topik serupa. Buku tersebut, The Long Tail: Why the Future Is Selling Less for More, saat ini menjadi salah satu best seller di toko-toko buku US. Di Amazon.com sendiri, pada hari ini, buku tersebut menempati urutan ke-18.
Lalu apa itu sebenarnya ‘the long tail‘? Bila Anda mengenal hukum 80/20 yang diperkenalkan oleh ekonom Italia, Vilfredo Pareto, Anda pasti tahu bahwa 80% kontribusi umumnya datang dari 20% penyumbang. Sebagai contoh, dalam satu toko, 80% penjualan cuma datang dari sekitar 20% jenis item. Dalam B2B, 80% omset datang dari 20% klien terbesar. Karena itu, hukum Pareto sering disebut sebagai the law of vital few. Hukum Pareto ini juga lah yang membuat para pebisnis bersikap konservatif dalam memilih barang-barang dagangan yang hendak dipasarkan. Keterbatasan ruangan fisik, seperti luas toko, membuat mereka selektif memilih dagangan dengan kriteria tertentu. Dengan alasan itu, di toko seluas apa pun (seperti hypermarket), tetap memberikan batasan jumlah item barang yang dipajang. Dan tentu saja barang-barang yang dipajang tersebut adalah barang-barang yang sudah dikenal luas. Sementara itu, barang-barang yang jarang peminatnya jangan pernah bermimpi untuk mendapatkan tempat pajangan di toko-toko konvensional tersebut.
Namun Internet membalikkan batasan-batasan tersebut. Tiadanya batasan fisik dan semakin murahnya storage media membuat bisnis di Internet (seperti Amazon, eBay, iTunes, Netflix, YouTube) mampu menyimpan informasi produk atau data digital lainnya sebanyak mungkin dan menawarkannya kepada publik. Recommendation engine yang dimiliki situs seperti Amazon memungkinkan konsumen menemukan barang-barang yang kurang dikenal. Uniknya, dalam bisnis di ruang maya tersebut, meski prinsip hukum Pareto masih berlaku, Anderson menemukan bahwa barang-barang yang termasuk di luar 20% vital few tersebut ternyata hampir selalu terjual paling tidak sekali dalam sebulan. Di sini lah muncul istilah the long tail karena bila jumlah item yang terjual tersebut digambar di grafik, maka grafik penjualan dari item terlaris sampai item terkecil penjualannya akan kelihatan seperti kurva yang memiliki luas besar di awal dan diikuti oleh ekor tipis yang panjang.
Memang kelihatannya barang-barang yang termasuk dalam the long tail tidak memberikan kontribusi volume yang besar. Akan tetapi, Anderson menegaskan, dalam industri yang mendewakan hak cipta intelektual, barang-barang yang termasuk dalam the long tail tersebut umumnya bisa diproduksi hanya dengan membayar biaya lisensi yang kecil. Sebagai contoh: untuk lagu-lagu dari penyanyi indie, lisensi yang dibayarkan ke mereka tidak berarti apa pun bila dibanding dengan lisensi yang harus dibayar kepada Christina Aguilera, misalnya. Buku-buku dan lagu-lagu lama kadang malah bisa diproduksi tanpa membayar biaya lisensi sama sekali. Netflix sendiri secara cerdik memanfaatkan fenomena ini dengan memproduksi film dokumentar sendiri dengan budget yang relatif rendah, dan kemudian menyewakan film-film tersebut secara ekslusif untuk pelanggannya. Karena itu, meski secara volume penjualan para penghuni daerah ekor panjang tersebut kalah besar, secara total profit, mereka bisa menyumbang dalam jumlah yang tidak kalah besarnya.
Anderson melihat fenomena tersebut tidak sekedar berkaitan dengan ekonomi. The long tail juga menyentuh aspek sosial dan politik. Lihat saja blogging atau podcasting, di mana suara atau ekspresi diri satu orang saja bakal mendapatkan tempat penyaluran yang bisa ditemukan oleh siapa pun yang mencarinya. Singkatnya, Anda bisa menemukan apa pun dalam long tail tersebut. Seaneh apa pun selera Anda, the long tail menyediakan apa yang Anda cari. Kadang, keanehan selera yang sangat tidak masuk akal pun bisa mendapatkan salurannya di wilayah ekor panjang ini, seperti kejadian 2-3 tahun lalu di Jerman, di mana seorang kanibal berhasil menemukan korban sukarela lewat di Internet. Sang kanibal memasang posting di Internet mencari korban yang bersedia dibunuh, namun sebelumnya, (maaf) penis sang korban akan dipotong dan dimakan terlebih dahulu dengan disaksikan oleh sang korban yang masih hidup. Anda mungkin berpikir ini hanya terjadi di film-film seperti Silence of the Lambs. Tetapi, fakta sering lebih aneh dari pada fiksi. Terbukti ada orang yang menanggapi posting tersebut dan menyatakan diri bersedia menjadi korban!
The long tail juga berhasil menghapus monopoli hits oleh perusahaan-perusahaan besar dengan menciptakan pasar yang jauh lebih demokratis, baik untuk produk atau untuk individu. Individu-individu yang kreatif sekarang memiliki kesempatan yang sama untuk menghasilkan hit, best seller, atau box office; selain karena luasnya saluran distribusi untuk mamasarkan produk/karya mereka, juga karena bantuan viral marketing di Internet yang sering menular dengan kecepatan luar biasa. Beberapa contoh yang bisa dilihat adalah film Blair Witch Project atau March of the Penguins, yang diproduksi dengan biaya yang rendah dan berhasil menghasilkan penjualan ratusan juta USD.
Bagi Anda yang tertarik untuk tahu lebih jauh mengenai fenomena ini, silakan cari bukunya (sayang belum diterjemahkan ke Bahasa Indonesia). Tapi bila Anda ingin menghemat uang, Anda bisa membaca blog the long tail dan artikel perdana Anderson secara gratis.
Sebagai catatan akhir, istilah ‘the long tail‘ ini pada awalnya berada pada zona long tail itu sendiri. Namun dengan larisnya penjualan buku di Amazon dan toko-toko buku lainnya, kelihatannya istilah ini sekarang sudah menjadi hit. Dengan kata lain, memethe long tail‘ sendiri berhasil menyebar dengan cepat dan menjadi hit karena dibantu oleh fenomena the long tail itu sendiri.
Siapkah Anda memanfaatkan the long tail tersebut?

 

 

‘Cars’ dan globalisasi

Sudahkah Anda menonton film animasi 3D terbaru dari Pixar, Cars? Bila sudah, Anda mungkin tanpa sadar telah disuguhi pelajaran ekonomi, terutama dalam kaitan dengan perdagangan dan globalisasi.
Dalam film tersebut, sang pemeran utama, si mobil balap baru Lightning McQueen, terdampar di daerah gurun dari perjalanan menuju LA untuk mengikuti babak akhir kejuaraan balap mobil Piston Cup. Karena kebingungannya, dia akhirnya harus berurusan dengan aparat hukum dan diberi hukuman kerja sosial di sebuah kota terpencil Radiator Springs. Aktivitas perekonomian kota kecil ini hampir mati karena tidak ada pendatang dari luar yang berkunjung. Namun kota tersebut ternyata merupakan kota yang hidup dan berjaya bertahun-tahun sebelumnya. Yang membuat perbedaan antara kedua kondisi tersebut adalah dibangunnya jalan raya baru, Interstate 40, yang tidak melewati kota tersebut. Sebelumnya, kota tersebut dilewati jalan raya lama Route 66. Perbedaan antara adanya akses ke dunia luar dan tidak adalah penentu mati hidupnya perekonomian sebuah daerah.
Bila Anda menganggap cerita tersebut hanyalah cerita kartun, maka cerita berikut mungkin bisa mengubah pandangan Anda. Pada abad ke-9 di negeri yang sekarang kita kenal dengan nama Belgia, Bruges merupakan kota yang sangat terkenal. Kota ini terletak di pinggir sungai Zwin yang berdekatan dengan muara laut. Karena letaknya yang strategis, Kota ini menjadi pusat perdagangan di Eropa bagian utara. Pedagang-pedagang dari Spanyol, Inggris, Belanda, Prancis, Rusia dan lainnya bertemu di kota tersebut untuk bertukar dagangan. Akibat aktivitas perdagangan yang ramai tersebut, kota ini menjadi kaya raya dan makmur. Penduduk kota ini sempat mencapai 2 kali kota London. Ratu Prancis yang pernah mengunjungi kota ini pernah dengan terkagum-kagum berkata “Aku berpikir aku adalah ratu, namun di sini aku menyaksikan 600 orang pesaing.”
Kejayaan tersebut terus berlangsung sampai 250 tahun, meski kota tersebut berganti penguasa dan ditaklukkan oleh negeri-negeri lain berulang kali. Industri-industri baru berkembang; dan demikian juga dengan kesenian dan bidang-bidang lainnya.
Namun pada abad ke-15, endapan di Zwin membuat kapal-kapal besar mulai kesulitan mencapai kota Bruges. Para pedagang terpaksa memindahkan pusat perdagangan ke kota lain yang lebih mudah diakses lewat laut, yaitu Antwerpen. Perlahan-lahan Bruges menjadi kota mati. Para penduduk dan bisnis lokal perlahan-lahan meninggalkan kota tersebut. Hari ini, kejayaan masa silamnya hanya bisa disaksikan di museum dan gedung-gedung bersejarah yang masih berdiri.
Di negeri bahari kita sendiri, banyak ahli yang berpendapat kemunduran kerajaan Majapahit dimulai pada saat kerajaan tersebut memutuskan untuk memindahkan pusatnya dari pesisir ke pedalaman Jawa. Akibat keputusan tersebut, aktivitas perekonomian dengan saudagar-saudagar dari negeri lain berkurang drastis. Dengan berkurangnya aktivitas perekonomian, berkurang juga upeti yang diterima kerajaan. Ujung-ujungnya, kurangnya kas kerajaan membuat pertahanan negara melemah. Kesempatan ini dipergunakan oleh kerajaan-kerajaan lainnya yang berpusat di pesisir untuk meningkatkan kemakmuran dan kekuatannya yang akhirnya berhasil menaklukkan Majapahit.
Kasus di atas melukiskan pentingnya perdagangan untuk menaikkan taraf kemakmuran dan kelangsungan hidup sebuah negara. Perdagangan tersebut hanya bisa terjadi bila kita bersedia membuka diri dengan dunia luar. Kecaman para pendukung anti-globalisasi jelas ada benarnya. Globalisasi memang telah menciptakan jurang yang semakin lebar antara kaya dan miskin. Namun bila globalisasi dihilangkan, walau jurang kekayaan tersebut akan menyempit, yang ada hanyalah yang miskin dan yang miskin (kecuali penguasa dan kroni-kroninya). Mau contoh? Lihat saja Korea Utara atau Myanmar. Atau Cina, Mongolia, India, Uni Soviet, dan negara-negara Eropa Timur pada 20-30 tahun sebelumnya. Afrika Selatan yang dulunya sempat diembargo ekonomi karena politik apartheid-nya juga pernah mengalami kesulitan ekonomi. Setelah embargo tersebut dicabut, barulah negara tersebut mampu menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.
Dalam menghadapi globalisasi, kita tidak perlu berpikiran negatif. Bila kita siap, globalisasi justru merupakan berkah. Kuncinya tentu saja adalah kata siap. Sebagai individu, siapkah Anda dengan terus mempersenjatai diri dengan cara pikir dan pengetahuan terkini? Sebagai perusahaan, siapkah perusahaan Anda bersaing secara global dengan strategi yang benar? Sebagai negara, siapkah pemerintah kita memangkas birokrasi dan menciptakan iklim investasi yang baik? Selain itu, sebagai masyarakat, siapkah kita menangkal efek samping globalisasi berupa masuknya budaya yang tidak cocok dengan nilai-nilai kita? India berhasil menarik manfaat dari globalisasi tanpa menghancurkan budayanya. Mengapa kita tidak bisa?
Sebagai catatan tambahan, salah satu jalur perdagangan terbesar telah dibangun saat ini. Jalur tersebut bukan Interstate 40. Kita mengenalnya dengan nama Internet. Dengan Internet, kita tidak perlu berlokasi di kota-kota strategis untuk menjalankan aktivitas perekonomian. Yang penting adalah akses Internet yang baik. Tapi, apakah saat ini, infrastruktur fisik dan pengetahuan kita juga sudah siap untuk itu? Berapa persen penduduk kita yang mampu mengakses broadband? (Jangankan broadband, untuk akses modem saja mungkin masih terbatas di kota-kota.) Seberapa siap lembaga pendidikan kita menghasilkan lulusan yang mampu memanfaatkan Internet selain untuk sarana chatting? Sebagai individu, siapkah juga Anda untuk membuka bisnis di Internet (dan bukan sebagai penjual nomor kartu kredit curian atau money games)? Dan pemerintah? Seberapa serius pemerintah kita menempatkan akses Internet sebagai agenda pembangunan nasional? Apakah kita hanya bisa menyaksikan negara-negara lain memanfaatkan jalan raya baru tersebut dari tepi jalan dengan hati iri dan mencari kambing hitam untuk kekurangan kita?
Semuanya terserah kita…
Pada akhir cerita di Cars, kota Radiator Springs akhirnya mampu menghidupkan dirinya kembali. Bagi Anda yang belum menonton, ada baiknya Anda menonton sendiri akhir ceritanya. Namun bagi yang tidak sabar, keberhasilan mereka diraih berkat: optimisme, kerukunan, kesiapan, dan kerja sama (atau meminjam istilah dari budaya kita: gotong royong).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar